Globalization of The World Economy

The economist magazine, published on 1st of October 2016, has a special report on the world economy i.e. globalization. In my opinion, the main story line is not new but the magazine provides the world’s recent data and news to make that story line. In brief, the magazine suggests not to move backward from globalization. The harm caused by the globalization was indeed undermined but what we have to do Continue reading “Globalization of The World Economy”

Over Mij

Ik ben Pratiwi Kartika. Ik woon in Amsterdam met mijn man en mijn zoon. Als een huisvrouw, ben ik bezig met huiskarweien en mijn 2-jaar-oude zoon. Ik leef ver van mijn ouders en broers en zus. Ze wonen in Indonesië. Maar het bevalt me heel goed hier. Ik voel me thuis in Nederland.

Ik groeide in Jakarta, de hoofdstad van Indonesia, op. Mijn overgrootouders kwamen uit China. Ik ben getrouwd met een Bataknese man. De Batak zijn een grote etnische groep in Sumatra. Maar hij groeide op in Bandung, West Java.

Toen ik 23 jaar oud, ging ik naar Australië om te studeren. Ik heb Economie gestudeerd. Daarna, ging ik terug naar Indonesia om te werken als een onderzoeker. In 2011, ging ik naar Duitsland voor een trainingsprogramma. Daarna, ging ik weer terug naar Indonesia. In 2013, ging ik naar Singapore om te studeren. Ik stopte met mijn studie. Ik kwam naar Nederland in 2014. Nu is het tijd om Nederlands te leren.

Chatib Basri on Indonesia’s experience during Taper Tantrum

One may wonder what a smart person does after reaching the peak of his/her career as a minister. The first guess is if he/she is a technocrat then he/she most of the times will go back to the academic world. Yes, Chatib Basri, the Indonesia’s Minister of Finance 2013-14, went to Harvard Kennedy School right after he completed his assignment. Taking advantage of his experience as a decision maker, he wrote a research paper titled “The Fed’s Tapering Talk: A Short Statement’s Long Impact on Indonesia.”

The paper mainly discusses how Indonesia can release from Taper Tantrum (TT). TT is a phenomenon of capital outflow, exchange rate depreciation, and a tumbling financial sector in the emerging markets due to the Fed’s plan to halt the Quantitative Easing (QE). Continue reading “Chatib Basri on Indonesia’s experience during Taper Tantrum”

Tips jalan-jalan hemat di Amsterdam

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Amsterdam terbilang kota yang relatif mahal dibandingkan banyak kota lainnya di Eropa. Tetapi, seperti sudah kita tau, orang Indonesia tidak pernah kehabisan akal untuk mengatasi berbagai rintangan, termasuk mengatasi mahalnya biaya hidup di Amsterdam. Berikut adalah kiat-kiat hidup hemat di Amsterdam, tanpa sedikit pun mengurangi kenikmatan liburan di negeri kincir angin:

  1. Ikut tour GRATIS! Setiap hari ada tour yang berangkat dari Dam Square jam 10.00, 11.00, 13.00, dan 15.00. Cari saja tour guide yang menggunakan payung besar berwarna oranye. Setelah puas ikut tour jalan kaki bersama guide ini, Anda dipersilahkan kasih tips yang besarnya biasanya 3 – 7 euro. Jauh lebih murah kan dibanding menyewa pemandu wisata sendiri yang bisa mencapai 50 euro untuk 2 jam? Keterangan lengkapnya silahkan klik disini
  2. Kamar kecil. Tahukah Anda bahwa, berbeda dengan Indonesia dan Singapura,  di Eropa ini ke WC harus bayar? Besarnya antara 0,5 sampai 1 euro. Walaupun tidak besar, tapi sayang rasanya mengeluarkan kocek sekitar Rp 10 ribu hanya untuk 1x buang air kecil. Ditambah, banyak turis yang mengeluh sulitnya menemukan WC saat jalan-jalan di Amsterdam. Selain di stasiun kereta, WC dapat ditemukan di Mc Donald’s dan Burger King yang outletnya tersebar dimana-mana di kota ini. Dan kalau mau WC yang gratis, kunjungilah De Bijenkorf, sebuah department store termewah di Belanda yang pasti Anda lewati saat main di pusat kota Dam Square.
  3. Makan. Eating out in a restaurant sangat mahal, bisa mencapai 15 euro untuk siang hari dan 45 euro untuk malam hari. Makanan2 yang relatif murah dan mengenyangkan sekaligus mencoba citarasa lokal adalah gebakken kibbeling dan kapsalon. Di setiap pusat keramaian di negeri kincir angin, Anda pasti menemukan kios ikan, seperti foto di bawah ini. Ikan kibbeling goreng tepung adalah makanan yang sangat umum bagi orang Belanda, harganya 4,5 euro untuk porsi sedang. Selain itu, di toko Turki yang biasanya menyajikan kebab dan durum, toko kebab Belanda menyajikan “kapsalon” yaitu campuran semuanya: sayur-sayuran, daging doner yang banyak, lapisan keju yang tebal, serta tumpukan kentang goreng. Harganya 4,5 euro juga. Satu tips lagi tentang makanan: Jika penginapan Anda bukan di pusat kota, maka belanjalah di supermarket di sekitar penginapan Anda tersebut. Harga produk-produknya lebih murah daripada supermarket yang terdapat di pusat kota.
  4. Minum. Sangat disayangkan, jumlah drinking fountains di Amsterdam sedikit dibanding kota-kota lainnya di Eropa. Jadi, jangan lupa mengisi botol air minum Anda sebelum berangkat. Selain itu, jangan lupa untuk refill botol Anda di drinking fountains yang terdapat di Museumplein (tepatnya di depan Keyzer Cafe), Leidseplein (tepatnya di depan Burger King), serta playground yang terdapat di depan Heineken Experience.
  5. Penginapan. Ada alternatif selain hotel. Contohnya hostel atau apartemen milik sesama orang Indonesia. Yang paling penting adalah dimana Anda merasa aman serta yang berlokasi strategis. Salah satu contohnya adalah Penginapan Sambal Kerupuk.

 

 

 

 

 

Amsterdam for The Second Timers

Kota Amsterdam yang selalu dipenuhi turis sepanjang tahun sangat sayang jika dijelajahi hanya dalam waktu sesingkat 2-3 hari. Biasanya yang dikunjungi turis dalam 2-3 hari adalah Museum square, Dam square dan pertokoan sekitarnya, Red Light district, serta Volendam dan Zaanse Schans. Berikut adalah tempat atraksi yang saya nikmati selama tinggal a.k.a jalan-jalan di Amsterdam dua tahun ini:

1. Pasar terbuka. Yang paling terkenal dan touristic adalah Albert Cuyp Market. Jika Anda sudah pernah ke pasar ini, cobalah ke pasar lain yang banyak dikunjungi warga lokal yaitu Dappermarkt atau Ten Katemarkt. Semua pasar ini menjual jenis barang yang mirip seperti kuliner setempat, buah dan ikan segar, fashion, serta souvenir. Seperti dapat Anda tebak, Dappermarkt dan Ten Katemarkt menjual barang yang sama dengan Albert Cuyp tapi dengan harga jauh lebih murah. Cicipilah poffertjes, ikan kibbeling goreng, stroopwaffle, dan berbagai jenis keju di pasar-pasar ini. Ten Katemarkt mudah dikunjungi dengan Tram No 7 atau 17 turun di halte Ten Katestraat. Sedangkan keterangan tentang Dappermarkt dapat dilihat disini

2. Taman. Yang paling mudah dijangkau karena letaknya yang berdekatan dengan Museum square adalah Vondelpark. Jika Anda sudah pernah kesitu, jelajahi lah Amstelpark, Westerpark, dan Amsterdamse Bos. Taman-taman ini tidak kalah indah, malah lebih luas daripada Vondelpark, khususnya Amstelpark dan Amsterdamse Bos. Sebenarnya Amsterdamse Bos adalah Continue reading “Amsterdam for The Second Timers”

Tips Traveling Dengan Anak

Berikut ini beberapa tips berdasarkan pengalaman kami jalan-jalan dengan anak yang sekarang berusia 17 bulan, baik antar negara Eropa maupun ketika kami beberapa kali pulang kampung dari Belanda ke Indonesia.

1. Kunjungi tempat favorit terlebih dahulu. Jika Anda punya waktu seminggu di Paris, misalnya, kunjungilah Menara Eiffel di hari pertama. Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi di hari-hari terakhir liburan Anda. Mungkin anak jatuh sakit, atau Anda yang tepar karena terlalu lelah jalan-jalan sambil mengasuh anak 24 jam.

2. Cari informasi apakah destinasi Anda stroller-friendly. Sebagian kota yang pernah saya kunjungi, seperti Continue reading “Tips Traveling Dengan Anak”

Indonesia This Week

This week, Indonesia is on the spot in the world’s news. That is so since the country is discussed in two articles of this week’s Economist magazine. Unfortunately, both show a retreat in social and economic conditions.

First, it questions the religious freedom in Indonesia. Several recent incidents like an attack to a religious minority group in Jakarta, a clash between Muslims and Christians in Papua, and bans on churches’ activities in Bekasi and Bogor happened. The authorities, namely police, local administration, judicial officers, and lawmakers do nothing and show no willingness to handle the situation. Even, in 2006, the government issued a regulation putting more burdens for religious minority to build houses of worship. In my opinion, this problem will remain as it has been there for decades, unless there is a strong external push factor forcing the government to improve the country’s religious freedom.

Second, Rupiah plunged to its level in the 1998 Asian Financial Crisis. The economic growth is at the lowest level since 2009. Declining commodity prices, China’s economic slowdown, and public expectation of US interest-rate hike are some of the main causes. In my opinion, while we are endowed with valuable commodities, it is more important to manage the commodities well so that in the long run those commodities will remain fruitful. Furthermore, we need to open up trade ties with any market in the world; this will lessen our dependence to the traditional markets.

Hal Unik Persalinan di Belanda

1.    Pro alamiah
Di negeri ini, hamil adalah proses alami setiap wanita, itu bukan penyakit jadi tidak perlu dokter yang menangani, cukup bidan saja. Pertama kali ke bidan, saya kaget karena bidan hanya tekan-tekan perut dan memberitahu posisi bayi dalam perut. Berbeda dengan di Singapura dimana setiap check-up adalah saat yang saya tunggu-tunggu karena bisa melihat babydi layar monitor. Di Belanda total screeningdengan USG hanya 3x di seluruh periode hamil! Tetapi untungnya saya tidak kecewa dengan pelayanan bidan-bidan ini karena mereka selalu dapat menjelaskan dengan professional serta tidak perlu membayar apapun setiap check-up.
Begitu pula dengan melahirkan, penggunaan berbagai metode pereda nyeri seperti epidural tidak disarankan. Operasi cesar pun hanya dilakukan dalam kondisi terpaksa.

2.     Tradisi memotong tali pusar
Saat persalinan, para ayah diberi kesempatan untuk menggunting tali pusar bayi yang baru lahir. Itu ibarat pengesahan dimulainya Pak Ferry sebagai ayah 🙂
3.    Car seat
Meskipun tidak punya mobil, tapi kami punya baby car seat karena diperlukan untuk naik taxi saat pulang melahirkan dari RS. Taxi sini tidak bisa narik kalau anak-anak dipangku/digendong.
4.     Suster
Sebagai bagian dari peraturan pemerintah, setiap keluarga yang baru punya anak akan dibantu oleh suster selama 8 hari pertama sejak kelahiran anak. Suster tersebut yang akan mengajarkan cara mengganti popok, memandikan bayi, dsb. Asuransi yang menanggung biayanya.
5.     Sistem yang jelas
Disini semua institusi nampaknya berhubungan. Dalam minggu pertama kelahiran bayi, selain suster, bidan silih berganti datang ke rumah kami untuk memeriksa kondisi saya dan bayi. Dalam minggu pertama itu pula, secara otomatis petugas pemerintah kota datang untuk mengambil darah anak saya. Setelah itu, di minggu kedua, secara otomatis juga petugas posyandu lokal datang untuk menimbang bayi dan memberitahu jadwal kontrol dan imunisasi di posyandu. Mulai dari minggu kedua ini juga dokter umum dimana saya terdaftar ikut bertanggung jawab terhadap kesehatan anak saya.

Melahirkan di Belanda

Pengalaman melahirkan tahun lalu sungguh seru. Tentu saja, bagi setiap wanita, pengalaman ini tidak terlupakan dan masing-masing punya ceritanya sendiri.
Pada bulan ke-6 mengandung, kami pindah dari Singapura ke Belanda. Dibandingkan dengan pengalaman hamil di Singapura dan cerita teman-teman di Indonesia, saya menilai hamil dan melahirkan di Belanda itu ekonomis, prosedur yang jelas, dan serba alamiah.
Setibanya di Amsterdam saya didaftarkan di pusat bidan terdekat dari rumah. Sebagai bekal persalinan, bidan memberi kertas petunjuk tentang apa yang harus dilakukan jika berbagai kemungkinan terjadi.
Saat kehamilan memasuki minggu ke-37, kami pun sudah bersiap untuk persalinan. Kami memilih untuk melahirkan di RS, tidak di rumah. Belanda sepertinya satu-satunya negara yang percaya dan bangga dengan prosedur persalinan di rumah. Akan tetapi, di antara orang Belanda sendiri jumlahnya yang melahirkan di rumah terus menurun dalam beberapa dekade terakhir.

Pada hari Jumat, 1 hari sebelum due date, perut ini kadang-kadang kram, rasanya sudah tidak sanggup untuk jalan keluar rumah. Saya telepon bidan, dan disarankan untuk rileks, mandi air hangat, serta lakukan hal-hal yang saya suka yang membuat saya tenang. Pada malamnya jam 00, saya merasa seperti menstrual cramp, rupanya kontraksi ini dimulai. Sesuai pesan yang saya dapat dalam information session untuk calon orang tua, saya pun tetap dalam pembaringan dan berusaha tidur. Pukul 1.30 saya minta suami untuk memasangkan mesin TENS ke punggung saya. TENS adalah alat kecil yang dapat memberi getaran serupa pijatan ke tubuh. Alat ini membantu mengatasi rasa sakit dalam beberapa jam pertama kontraksi. Beruntung saya mendapatkan informasi bahwa asuransi kami disini menanggung pembelian mesin TENS yang seharga 95 euro tersebut.
Pukul 5.30 ketika kontraksi datang 7 menit sekali, suami saya menelepon bidan. Bidan meminta untuk menelepon kembali ketika kontraksi sudah 5 menit sekali. Akhirnya pukul 7.30 kami kembali telepon bidan, dan dalam waktu 15 menit bidan tiba di rumah. Setelah mengecek, senang rasanya dia katakan sudah bukaan 5cm, dan berarti saya sudah bisa berangkat ke RS. Maklum RS disini tidak mau melayani pasien terlalu lama, selama pasien tersebut bisa menanganinya sendiri.
Singkat cerita, pada tengah hari sudah pembukaan 10cm. Tetapi belum muncul dorongan untuk mengejan sama sekali. Saya diminta untuk mencoba push, lalu ke toilet untuk pup, lalu duduk di beberapa birthing stool. Tetap saja keinginan tersebut belum muncul. Sampai akhirnya dorongan itu muncul, walau telah dengan sekuat tenaga saya push, kepala bayi belum nongol juga. Akhirnya bidan mengalihkan tugasnya ke dokter RS. Dokter pun datang dengan alat vakum. Hanya dengan dua kali push, tertarik keluarlah bayi kami pada 29 Nov pk 15.41. Puji Tuhan! Sekeluarnya bayi tersebut dari bawah, langsung dilempar dokter ke dada saya. Betul-betul setengah dilempar, bukan ditaruh dengan lembut. Ajaib memang dokternya 😉
Ternyata drama belum selesai karena saya diberitahu bahwa plasenta belum keluar. Jadi saya diberi obat agar plasenta bisa keluar. Setelah menunggu beberapa menit, plasenta pun keluar tapi disertai dengan banyak darah yang mengalir. Seketika para juru rawat dan dokter senior berdatangan dan melarikan saya ke ruang operasi. Tetapi saya sudah tidak peduli, selama sudah tidak ada rasa sakit kontraksi lagi, saya terserah mau diapakan pun 😉
Setelah organ bagian dalam dibersihkan, saya pun tersadar pk 18.30. Jadi total proses persalinan 18,5 jam! What a day! Saya menginap 2 malam di RS karena harus mendapatkan transfusi darah pada keesokan harinya. Setelah dinyatakan boleh pulang, kami pun meninggalkan RS tanpa membayar sepeser pun, bahkan pergi ke bagian administrasi pun tidak. Inilah enaknya hidup berkeluarga di Belanda 🙂

Bonn: Cinta Pertamaku Pada Benua Biru

Bonnselalu memberi kesan tersendiri untukku. Pertama kali tiba di Eropa empat tahun yang lalu untuk sebuah training singkat dari kantor. “Ah hanya sebuah training,” pikirku. “Sama saja dengan perjalanan dinas lainnya.” Memang, saat perpisahan dengan teman2 kantor dan sanak saudara, pesan mereka berbeda dengan saat keberangkatanku ke Australia untuk melanjutkan studi. Bukannya wishes “Semoga sukses,” tetapi wishesHave fun!” dan “Enjoy”yang aku dapatkan. Dan mereka benar. I enjoyed my time in Europe because I had so much fun there!
Kota yang indah, persahabatan yang seru dgn teman-teman dari berbagai belahan dunia, materi training yang berguna, kesempatan menjelajahi benua biru, serta tempat berjumpa Ferry untuk pertama kalinya 🙂  Tiba di Bonn setelah perjalanan panjang dari Jakarta, aku merasakan udara yang segar dan senang sekali dengan suasana Eropa di kota ini seperti yang dulu hanya kulihat di film dan majalah. Taman hijau di Poppelsdorf Allee dimana terdapat beberapa lemari berisi buku-buku yang siapapun dapat pinjam serta menyumbangkan buku bekasnya. Pusat kota yang nyaman untuk shopping karena semua terjangkau dengan jalan kaki. Gedung-gedung gereja tua yang bunyi loncengnya sering membangunkanku di hari Minggu pagi. Dan masih banyak lagi.
1.     Patung Beethoven ini adalah landmarkkota Bonn, terdapat di pusat kota Bonn Zentrum. Tidak jauh dari patung ini terdapat toko es krim langganan saya. Sungguh asyik menghabiskan tiap Jumat sore window shopping di Bonn Zentrum dengan tangan kanan memegang cone es krim.

2.     Setiap musim semi, cherry blossom mewarnai kota ini. Pada bulan Mei tahun ini dalam napak tilasku bersama suami ke Bonn, kami masih kebagian juga sedikit cherry blossom ini.



3.     Rhine River. Wisata Bonn tidak bisa dipisahkan dgn wisata sungai terpanjang ke-2 di Eropa ini. Sepanjang pinggir sungai ini, kita dapat road trip ke kota-kota lainnya sambil menikmati kastil-kastil jaman baheula yang berjejer di sisi seberang sungai.



4.     Bersama dgn dua sahabatku di depan DIE, kantor penyelenggara training kami.